Ketua Komunitas BISA Kabupaten Pulau Morotai, Mirsa Saibi
Sinarmalut.com, Morotai - Komunitas Bersih, Hidup, Sehat dan Aman (BISA) mengkritik pengelolaan sampah di Kabupaten Pulau Morotai.
Ketua Komunitas BISA Kabupaten Pulau Morotai, Mirsa Saibi, menyampaikan bahwa pengelolaan sampah adalah salah satu indikator paling nyata dari keseriusan pemerintahan daerah dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Sayangnya, data terbaru yang dirilis oleh Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2024 memperlihatkan potret yang sangat memprihatinkan mengenai kinerja pengelolaan sampah di daerah itu.
"Kabupaten ini terletak di Provinsi Maluku Utara dan memiliki kekayaan alam serta keindahan pesisir yang luar biasa, justru tampak belum memiliki arah kebijakan yang terstruktur dan progresif dalam menangani permasalahan sampah," sentil Mirsa, Rabu (23/04/2025).
Dari data tersebut, terlihat bahwa total timbulan sampah di Kabupaten Pulau Morotai pada tahun 2024 mencapai 83.660,92 ton. Namun, yang paling mencengangkan adalah angka pengurangan sampah yang tercatat nol, alias tidak ada sama sekali. Tidak satu pun sampah yang tercatat telah dikurangi melalui upaya preventif atau strategi pengelolaan berbasis hulu.
"Ini adalah sinyal bahaya bahwa strategi pengelolaan sampah di daerah ini belum menyentuh substansi dari persoalan yang ada. Dalam konteks nasional dan bahkan global, pendekatan pengelolaan sampah yang menekankan pada pengurangan timbulan dari sumbernya sudah menjadi hal mendasar, namun kenyataan ini menunjukkan bahwa Kabupaten Pulau Morotai masih jauh tertinggal dari standar tersebut," ujarnya.
Lebih lanjut, dari total timbulan sampah tersebut, hanya sekitar 26.736,29 ton yang berhasil ditangani. Artinya, lebih dari 56 ribu ton sampah dibiarkan tanpa penanganan yang memadai. Angka ini tidak hanya mencerminkan kegagalan teknis atau kelemahan dalam aspek operasional, melainkan memperlihatkan absennya kerangka kebijakan yang kuat dan berkesinambungan.
Dalam kerangka sistemik, pengelolaan sampah semestinya tidak hanya menjadi beban operasional semata, tetapi bagian integral dari perencanaan pembangunan berkelanjutan yang menyentuh aspek sosial, ekonomi, dan ekologis masyarakat.
Ketiadaan capaian dalam aspek pengurangan sampah patut diduga berasal dari dua hal pertama, lemahnya perencanaan strategis yang bersifat preventif, dan kedua, kurangnya upaya pemberdayaan serta partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan sampah. Kebijakan pengelolaan yang hanya berfokus pada penanganan di hilir tanpa dibarengi dengan intervensi di hulu ibarat menyapu lantai tanpa menutup keran air yang bocor.
Dampaknya adalah volume sampah yang terus membengkak tanpa kendali. Hal ini juga berimplikasi pada beban anggaran daerah, yang selalu habis untuk penanganan akhir tanpa membentuk kebijakan yang efisien dalam jangka panjang.
Lebih ironis lagi, Pulau Morotai memiliki potensi besar untuk menjadi model pengelolaan lingkungan berbasis pulau kecil, yang selaras dengan misi pelestarian kawasan pesisir dan laut. Namun, realitas pengelolaan sampah yang lemah justru mengancam potensi ekowisata dan kesehatan ekologis daerah ini.
Sampah yang tidak tertangani akan bermuara ke laut, mencemari habitat laut, merusak terumbu karang, dan akhirnya berdampak pada nelayan dan masyarakat pesisir secara langsung. Ini adalah ancaman multidimensi yang harus disikapi dengan langkah radikal, bukan dengan pendekatan bisnis seperti biasa.
Kegagalan dalam pengelolaan sampah juga memperlihatkan lemahnya fungsi pengawasan dan evaluasi internal dalam tubuh Dinas Lingkungan Hidup setempat. Tidak adanya capaian pada aspek pengurangan sampah menunjukkan bahwa tidak ada program berbasis komunitas yang berjalan, tidak ada intervensi edukatif, tidak ada insentif bagi pelaku usaha untuk mengurangi kemasan sekali pakai.
dan tidak ada sistem insentif atau disinsentif terhadap perilaku masyarakat dalam menghasilkan dan memilah sampah. Ini bukan hanya persoalan teknis, tetapi persoalan kebijakan publik.
Dinas Lingkungan Hidup sebagai lembaga teknis semestinya menjadi motor penggerak dalam membangun kesadaran lingkungan hidup, termasuk melalui regulasi daerah, kampanye massal, penguatan kelembagaan lokal, hingga kemitraan dengan sektor swasta dan masyarakat sipil. Namun, data tahun 2024 menunjukkan bahwa fungsi ini tampaknya lumpuh. Tidak terlihat adanya inovasi kebijakan, baik dari sisi teknologi, partisipasi sosial, maupun pengelolaan anggaran. Alih-alih menjadi pelopor perubahan, DLH Morotai justru terkesan pasif dan reaktif dalam menghadapi krisis sampah yang semakin akut.
“Penting untuk disadari bahwa pengelolaan sampah tidak bisa hanya dilihat sebagai urusan "pembersihan kota". Itu adalah masalah tata kelola, kesadaran kolektif, dan tanggung jawab lintas sektor. Jika pemerintah daerah tidak mampu membangun sistem yang terintegrasi dari regulasi, insentif, hingga edukasi, maka krisis sampah ini hanya akan menjadi bom waktu yang merusak wajah daerah dan membebani generasi mendatang,” singgung Mirsa.
Menurut Mirsa, sudah saatnya Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pulau Morotai melakukan refleksi mendalam dan mengevaluasi seluruh pendekatan yang selama ini digunakan. Perlu ada peta jalan yang jelas, target capaian yang terukur, serta sistem pelaporan yang transparan.
“Kegagalan dalam menangani dan mengurangi sampah bukan hanya soal angka statistik, tetapi cermin dari rendahnya komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan dan kualitas hidup masyarakat,” tandasnya. *